Bolehkah Kredit Mobil dengan Disertai Asuransi menurut Islam ?
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis
ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran
dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani
penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan
menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta
manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang
muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp
10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp
12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan
pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut
berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT
perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima
motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada
perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan
pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke
bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima
motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT
Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang
intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban
membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi
pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak
menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir
pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran
tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank
terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan
hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan
tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at,
akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan
akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum
perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka
kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad
perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad
perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling
mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran
tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli
motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank
langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian
Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp
13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba
nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits
berikut:
عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba
(nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau
juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut
dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila
penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum
ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga
Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah
satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan
dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik
nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan
ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam
syari’at.
عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu,
ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali
hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat
bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid
bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berikut:
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu
saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya,
ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia
memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya
(guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari
belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah
Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di
tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat
barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang
ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan
ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum
ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur
terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya
kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu
‘Abbas radhiallahu ‘anhuma ketika muridnya yang bernama Thawus
mempertanyakan sebab larangan ini:
قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok
demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual
dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas
dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar
–misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia
belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada
orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut,
padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka
seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar
dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka
larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku
juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa
pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di
masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak
akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama,
yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak
ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian)
yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli
terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan
berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya
dengan pembayaran dicicil/terhutang. Tentu dengan memberinya keuntungan yang
layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan
karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan
tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan
tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan
sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam
pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi
yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah
untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar
mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan
karunia-Nya kepada kita:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu,
dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
halaman Sebelumnya,pendapat ulama...
halaman Sebelumnya,pendapat ulama...
Komentar
Posting Komentar