Bolehkah Kredit Mobil dan Motor dengan Disertai Asuransi menurut Islam ???
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli kredit, dan pendapat yang insya Allah lebih kuat/rajih adalah boleh dengan syarat tidak ada tambahan pembayaran apabila pembayaran angsurannya terlambat. Dan realitanya, banyak sekali praktek jual beli kredit yang ada sekarang ini (terutama di negara kita) tidak sesuai dengan syariah Islam, oleh karena itu seyogyanya kita sebagai seorang muslim harus meneliti dan mencermati setiap akad yang akan kita jalankan.
Berikut ini kami kutip sebagian dari tulisan ustadz
Muhammad Arifin Badri, M.A. tentang Jual Beli Kredit:
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara
pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan
dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga
pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan
cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat,
dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini
berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil pertama:
Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan
adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk
hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua:
Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli
sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan
beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai
jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi
dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan
adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga:
Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku
untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan,
Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan
dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah
bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan
dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud,
Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk
membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang.
Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu
mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian,
pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang
ditunda (terhutang).
Dalil keempat:
Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at
adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka
(kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika
menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari
pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam hanya bersabda:
من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan
(salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas
dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya
selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap
perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa:
selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk
perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu
penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau
tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain,
maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim
dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli
dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain
suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan,
segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan
dan harga yang lebih murah.
1. halaman 2. / Selanjutnya, SOLUSInya...
1. halaman 2. / Selanjutnya, SOLUSInya...
Komentar
Posting Komentar